photo blogkugif.gif
Headlines News :
Home » » Sejarah Kerapan Sapi Madura

Sejarah Kerapan Sapi Madura

Written By Ahdi Popos on Wednesday, 10 April 2013 | 16:24

Lilik Rosida Irmawati

Sebuah Karya Inovatif
Konon pada era pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep pada abad ke-15 (1561 M), Raja arif bijaksana ini senantiasa memikirkan cara agar para petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena pada masa itu, cara bercocok tanam masih sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan serba batu. Sang Pangeran, akhirnya menemukan ide cemerlang.
                                        
Setelah berembuk dengan para cerdik pandai, maka dititahkan kepada ahli pertukangan untuk membuat alat yang terbuat dari bambu. Dan alat tersebut ditarik oleh dua ekor sapi, diharapkan dengan bantuan alat tersebut akan mampu mengurangi beban kerja petani. Maka terciptalah sebuah peralatan , yaitu bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi.

Pangeran Katandur, adalah seorang pemimpin yang penuh dengan pemikiran kreatif dan inovatif. Ketika melihat sebagian rakyatnya berkurang kesibukannya seusai panen, terpikir oleh Sang Pangeran untuk memanfaatkan waktu luang dan terbuang tersebut. Semacam keramaian sekaligus kegiatan rekreasi, yang nantinya akan mampu meningkatkan produksi, baik produki peternakan maupun produksi pertanian.

Ide cemerlang pun terlahir, yaitu sebuah bentuk permainan yang mengasyikkan terbentang di benak pikiran sang Pangeran. Permainan yang muncul di pelupuk mata adalah semacam perlombaan. Perlombaan memacu sapi dengan cara memacu berpasang-pasang sapi dalam sebuah areal tegalan yang luas. Dan dalam permainan tersebut, pasangan sapi yang diperlombakan dalam pacuan harus menggunakan peralatan serupa “bajak”, yang biasa dipakai untuk menggarap sawah ladang.

Dalam benak Sang Pangeran, permainan dan perlombaan itu tidaklah jauh kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani. Dalam arti, bentuk permainan itu nantinya dapat memberikan motivasi dan kecintaan rakyat serta kewajibannya pada sawah ladang. Disamping itu, agar rakyat mampu meningkatkan produksi ternak sapi. Dalam arti, mampu meningkatkan hasil ternak sapi yang sehat, sehingga dapat diadu larinya juga mampu menghasilkan daging sapi bermutu tinggi.

Gagasan Pangeran Katandur terwujud, mula-mula penggandeng pasangan sapi itu terbuat dari bambu. Bentuknya pun serupa bajak. Tetapi ujung bawahnya dibuat rata, sehingga tidak mendongkel tanah. Alat tersebut dinamakan “Kaleles”. Sejak saat itulah, kerapan sapi menjadi perlombaan dan permainan rakyat yang sangat digemari. Pada umumnya perlombaan ini diadakan seusai panen.

Dari masa ke masa, pacuan Kerapan Sapi menjadi bentuk pesta hiburan rakyat dan menjadi tersohor seantero jagat. Pada akhirnya identitas pulau Madura tidak terlepas dari tradisi budaya rakyat ini. Kisah tentang kejantanan para Joki ketika menunggangi Sapi Kerapan dalam sebuah arena, memacu pasangan sapi dalam kecepatan tinggi. Kecepatan, ketangkasan, kecekatan, kepiawaian ketika mengendalikan sapi-sapi tunggangan, merupakan sebuah prestasi yang cukup fantastis dan menakjubkan. Tak kalah dengan kepiawaian para matador di gelanggang adu banteng di Spanyol.

Di samping sebagai sarana hiburan, pacuan Kerapan Sapi mampu menanamkan kecintaan rakyat terhadap alam dan lingkungannya, memotivasi sekaligus mengangkat rakyat pada tingkat kemakmuran tinggi. Gagasan Pangeran Katandur yang spektakuler tersebut, ternyata mampu meningkatkan produksi pangan. Karena untuk mendapatkan sapi yang bagus dan mutu daging tinggi diperlukan makanan berkualitas. Dari sektor ini, raja Katandur mampu menggerakkan rakyat untuk melakukan penghijauan serta meningkatkan semangat dan gairah kerja dalam mengolah dan mengelola tanah.

Tak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas ternak. Prioritas utama adalah dalam bidang ilmu beternak sapi. Minat dan perhatian rakyat terpusat pada cara-cara yang baik, praktis dalam pengembang-biakan sapi. Usaha peternakan sapi tidak saja dikaitkan pada kepentingan pertanian semata, tapi juga pada bibit-bibit sapi yang sehat dan mampu berlari kencang. Pada akhirnya, para peternak bukan hanya mampu menghasilkan sapi yang bagus, berbobot dan mampu berlari kencang, tapi juga mampu mengembangkan ternak yang menghasilkan daging bermutu tinggi. Sampai sekarang daging sapi Madura, dikenal karena sangat lembut dan halus serat-seratnya.

Keberhasilan Pangeran Katandur dalam memicu serta memacu gairah rakyat dalam peningkatan kemakmuran, merupakan sesuatu yang sangat prestisius. Kejeniusannya dalam mengembangkan gagasannya sampai sekarang masih terasa. Pesta rakyat aduan sapi yang sekarang lebih dikenal dengan Kerapan Sapi telah berkembang sedemikian rupa. Karena dengan adanya kerapan sapi ini, telah menggugah dan menggali nuansa seni yang ada dalam diri manusia. Seni tari, seni musik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian acara perlombaan.


Proses Pelaksanaan

Sampai saat ini pesta permainan rakyat, Kerapan Sapi diadakan setiap tahun. Dari tingkat wilayah terendah sampai tingkat Karesidenan. Seleksi biasanya diadakan dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai tingkat Madura. Konon ketika wilayah Madura masih berada dalam cengkeraman kolonial Belanda, Kerapan Sapi dilombakan dengan pengaturan dan jadwal sedemikian rupa, sehingga puncak kemeriahan perlombaan jatuh pada tanggal 31 Agustus, tepat hari lahirnya ratu Wilhelmina.

Dalam pelaksanaan perlombaan sebagai ajang pesta rakyat, Kerapan Sapi menyedot semua energi dan aktifitas. Jauh-jauh hari sebelum acara diadakan, perhatian terhadap hewan tersebut sangatlah istimewa. Hewan yang akan dilombakan berada dalam pengawasan yang sangat ketat. Dari pola makanan, suspensi penambah stamina berupa jamu dan ramuan sampai pada kesiapan dalam bentuk supranatural, jampi-jampi, mantera-mantera. Hal itu dalam upaya agar sapi nantinya menjadi yang tercepat, terdepan dan menang.

Adapun kesibukan yang dilakukan sebelum acara perlombaan dimulai, antara lain :

Pada malam hari sebelum hari kerapan tiba, pemilik beserta keluarga serta para supporternya membawa pasangan sapi ke arena perlombaan. Pasangan sapi tersebut, diiringi seperangkat gamelan dan Saronen. Mereka mengadakan perkemahan, sehingga pada malam hari sebelum hari H tiba, di arena perlombaan menjadi tempat yang sangat meriah. Karena peserta dari daerah lain pun berkumpul disana,

Pada malam tersebut, tak seorangpun dapat tidur. Karena masing-masing orang telah mempunyai tugas dan kewajiban. Terutama petugas perawat sapi, disamping memijat-mijat (massage) juga menjaga pembakaran. Dengan tujuan agar tak seekor nyamuk pun datang mendekat. Bahkan dari sebagian anggota rombongan melakukan tirakat, agar keesokan harinya sapi yang menjadi andalan keluar sebagai pemenang,

Pada pagi hari, sepasang sapi digandengkan pada Kaleles, dan didandani sedemikian rupa sehingga sepasang sapi tersebut ber-penampilan keren, gagah dan menarik. Setelah itu, sepasang sapi tersebut diarak keliling lapangan diiringi oleh bunyi “taktuk”, (semacam seperangkat gamelan) yang bertalu-talu serta Saronen. Tingkah polah para pengiringpun tak kalah meriah, ada yang membisiki sapi dengan rayuan kata-kata indah agar berjuang untuk menang, ada pula yang menari-nari sambil bernyanyi,

Setelah melakukan seremonial mengelilingi lapangan, sepasang sapi tersebut dibawa ke tempat yang teduh, menunggu giliran nomer perlombaan. Semua aksesoris di tubuh sapi ditanggalkan, dan sepasang sapi tersebut telah siap tempur untuk memacu kecepatannya berlari.

Dari masa ke masa dan telah beratus-ratus tahun pesta rakyat Kerapan Sapi ini dilombakan. Tentunya telah terjadi perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Pada era sekarang tidak lagi melakukan perkemahan pada malam hari, namun sapi-sapi yang akan dilombakan langsung datang pada hari H, saat perlombaan. Selain itu pada awal keberadaan Kerapan Sapi, tidak ada model penyiksaan seperti pada masa sekarang. Untuk memperkencang laju Sapi ketika berlaga, maka dipergunakan pelepah daun pisang (pak-kopak), dibentuk semacam mainan dan menimbulkan suara keras ketika dipukulkan ke punggung sapi. Binatang tersebut benar-benar diperlakukan secara manusiawi.

Berbeda dengan era sekarang “rekeng coccona” sapi (alat pemacu yang digunakan joki) dilengkapi dengan benda-benda tajam. Benda-benda tajam tersebut kemudian ditusuk-tusukkan oleh Joki ke pantat sapi, begitu aba-aba dimulai. Tentu saja sapi-sapi akan lebih memperkencang laju larinya, karena kesakitan. Belum lagi bentuk penyiksaan yang lain, sebelum sapi di lepas berlaga di arena, seluruh bagian badan terutama bagian kepala sapi disiram air cabe atau dibaluri reumason.


Syarat-syarat serta aturan-aturan dalam lomba

Dalam setiap event lomba, sapi-sapi yang akan diikutsertakan dalam perlombaan biasanya melewati seleksi. Adapun yang melakukan seleksi ialah dokter hewan dari dinas kehewanan. Adapun sapi-sapi yang telah dianggap memenuhi persyaratan antara lain ; tinggi badan sapi minimal 120 cm, berbadan sehat dan berkulit bagus, umur sapi ditentukan dan diketahui dari keadaan gigi, kedua tanduk sapi harus baik dan harus sama, dan yang diperbolehkan dijadikan sapi kerapan berasal dari dataran Madura. Namun untuk saat ini persyaratan diatas bukan menjadi patokan lagi dalam sebuah ajang perlombaan.

Dalam setiap perlombaan diadakan suatu bentuk kepanitiaan perlombaan lengkap dengan dewan juri. Panitia pelaksana biasanya berasal dari pihak Pemerintah Daerah, apabila dilaksanakan dalam even kabupaten dan pihak kecamatan apabila dilaksanakan dalam even kecamatan. Adapun komposisi kepanitiaan berasal dari unsur dinas instansi, Muspika dan dibantu oleh Dinas Kehewanan. Tidak menutup kemungkinan kepanitiaan dibentuk oleh masyarakat pecinta sapi kerapan (swasta), apabila ditengarai ada unsur tidak adil apabila panitia pelaksana berasal dari unsur pemerintah.

Adapun ketentuan lain yang diatur dalam setiap perlombaan, adalah :

1. Sepasang Sapi Kerapan dinyatakan sebagai pemenang, apabila kaki depan telah menginjak atau melompati garis finis,

2. Sepasang sapi harus tetap dinaiki oleh seorang joki, mulai dari start sampai finis .walaupun sepasang Sapi Kerapan telah sampai ke garis finis, tetapi tanpa joki (sebab jatuh di tengah arena), akan dinyatakan kalah,

3. Setiap joki diberi selempang dengan warna berbeda,

4. Untuk mendapatkan pemenang, diadakan babak penyisihan. Yang menang dimasukkan dalam satu pool pemenang, demikian pula yang kalah. Untuk babak berikutnya, pemenang akan diadu dengan pemenang, yang kalah diadu dengan yang kalah. Sehingga setelah acara perlombaan usai, maka akan di dapat pemenang sebanyak 6 pasang, yaitu juara I, II dan III dari golongan pemenang dan juara I, II dan III dari golongan kalah,

5. Perlombaan dimulai apabila petugas pemegang bendera di garis start melambaikan bendera dari arah bawah keatas.

Adapun tugas dan tanggung-jawab dewan juri, antara lain :

* Beberapa anggota dewan juri bertugas di garis finis, untuk meneliti kaki sapi yang pertama kali menginjak atau melompati garis finis,

* Diatas panggung ada beberapa anggota dewan juri, sebagai dewan hakim yang berwenang memutuskan sapi pemenang dengan memegang bermacam bendera dan ber tugas mengacungkan warna bendera yang sama dengan selempang joki pasangan sapi yang dinyatakan sebagai pemenang.

Atraksi di arena kerapan sungguh sangat menegangkan, mengasyikkan sekaligus menakjubkan. Bagaimana tidak ? Ketika dua atau tiga pasang sapi dilepas di tengah arena, berpacu dengan kecepatan tinggi, setelah tiba di garis finis harus ditahan laju kekencangan berlarinya. Agar tidak menabrak kian kemari dan menimbulkan korban berjatuhan. Dari arena itu, dapat disaksikan kepiawaian para joki dalam mengendalikan laju sapi tunggangannya juga kemahiran serta ketangkasan para petugas dalam mengendalikan perlombaan tersebut. Dan dapat dilihat pula, betapa mahir para pelatih hewan dalam menanamkan disiplin yang tinggi pada sapi-sapinya.

Di setiap kabupaten dalam wilayah Madura, terdapat lapangan kerapan yang dipergunakan dalam setiap even lomba. Lapangan Kerapan Sapi dilengkapi dengan tribune yang dibangun agak tinggi, sehingga penonton dengan leluasa dapat menyaksikan pertunjukan dari atas, tanpa takut ditabrak oleh sepasang sapi yang sedang berpacu. Di tepi lapangan juga dibatasi pagar bambu, dimana para supporter dari masing-masing sapi bergabung dengan para penonton untuk memberikan semangat kepada sapi yang sedang berlaga, teriakan-teriakan massa membahana, riuh rendah, bergemuruh, bersamaan dengan kecepatan sapi yang sedang berpacu.

Suasana yang demikian itulah, menjadi salah satu daya tarik luar biasa. Karena dalam arena ini, yang dipertontonkan adalah ketangkasan, ketangguhan, keuletan, kegigihan dan kelihaian untuk menjadi yang tercepat dan terdepan. Ekspresi urakan, kesangaran, hura-hura terekspos begitu nyata. Sebuah kompetisi yang menguras semua energi, pikiran, tenaga serta emosional massa.

Dibalik kemeriahan dalam arena Kerapan Sapi, ada satu makna filosofi yang sangat mendalam. Yaitu untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita perlu adanya satu kekompakan dan kebersamaan. Satu tujuan cita-cita akan tercapai apabila berada dalam satu komando. Joki merupakan gambaran sang komando dengan mengendarai sapi tunggangan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Dengan melintasi garis lurus (sapi berlari lurus), dipandu oleh Joki. Diumpamakan, garis lurus tersebut adalah pengejawantahan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan yang lurus.

Gambaran Joki sebagai komando diperjelas lagi dengan posisi kaki kiri Joki, diletakkan di Kaleles (nangkring), sedangkan kaki kanan merangkul di Kaleles yang melengkung. Ini merupakan gambaran (tipikal) seorang komando (pemimpin) yang harus berdiri tegak diatas yang dipimpinnya, juga merangkul sekaligus memiliki terhadap komponen yang dipimpinnya.

Dalam arti yang lebih lugas, suatu tujuan akan tercapai dan sukses apabila ada kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang dipandu oleh seorang komando (pemimpin), yang memiliki, merangkul juga melindungi komponen yang dipimpinnya. Sang komando dalam menjalankan kepemimpinannya senantiasa melintasi jalan yang lurus, selalu berada dalam rel kebenaran dan jujur.

Adapun aksesoris sekaligus sebagai alat batu dalam menjalankan sapi kerapan, ialah : Kaleles, Pangonong dan ajer. Kaleles berasal dari bahasa Jawa “leles”, yang berarti mengambil sisa. Makna dari Kaleles adalah, seorang komando (pemimpin) harus mendahulukan kepentingan yang dipimpinnya, barulah komando mengambil jatah (sisa) dari bawahannya. Pangonong merupakan pedoman dan Ajer adalah bendera yang akan menjadi tanda sekaligus pemacu semangat. Berkibarnya bendera, adalah gambaran meluapnya semangat dalam meraih suatu tujuan cita-cita.

Dalam even-even tertentu pelengkap kemeriahan pentas rakyat Kerapan sapi, biasanya diadakan bermacam-macam pertunjukan kesenian dan ketrampilan. Diantaranya adalah tarian massal “Tari Pecut”. Tarian ini menggambarkan sebuah ungkapan kegembiraan serta rasa terima kasih para pemilik sapi yang telah berhasil menjadi pemenang. Dan dalam acara tersebut, juga didemonstrasikan ketrampilan sapi betina, yang biasa disebut dengan “Sapi Sono’”. Dalam atraksi ini, sepasang sapi betina akan mempertontonkan kemampuannya memasuki sebuah arena, dengan memanis-maniskan diri, berjalan sambil berjoget serta mengangkat kaki bersamaan ke atas papan.

Kerapan Sapi, Trade Mark Madura

Pada masa lampau dalam sebuah desa, ada beberapa warga yang memelihara sapi kerapan. Dalam setiap event perlombaan senantiasa melibatkan rumpun keluarga sebagai pendukung dana. Dana yang dikeluarkan untuk pembiayaan selama perlombaan, menjadi tanggung jawab bersama. Pada masa sekarang hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memelihara sapi kerapan. Hal itu disebabkan oleh biaya pemeliharaan yang sangat mahal. Belum lagi biaya ketika sapi-sapi tersebut berlaga dalam sebuah arena. Semua biaya dalam proses tersebut langsung di tanggung oleh pemilik sapi, biaya makan, biaya musik pengiring, biaya transportasi dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan, kalau saat ini hanya orang-orang berduit, ataupun para pejabat saja yang mampu memelihara Sapi Kerapan.

Walaupun demikian Kerapan Sapi tetap merupakan sebuah pesta rakyat dan mampu menyedot perhatian rakyat di dataran pulau Madura. Hal itu dapat dilihat, setiap event perlombaan yang diadakan di tingkat Kecamatan, Pembantu Bupati, Kabupaten atau pun tingkat Madura senantiasa dibanjiri oleh penonton dari semua lapisan masyarakat. Masyarakat dari berbagai kalangan, tumpah ruah, berbondong-bondong mengeluh-elukan sapi yang berasal dari daerahnya. Hal itu disebabkan adanya ikatan emosional yang kuat antara peserta dan penonton yang berasal dari satu wilayah. Tak mengherankan apabila ajang Kerapan Sapi dijadikan simbol status sosial. Selain itu Kerapan Sapi mampu membangun kebersamaan, mempertautkan kembali tali silaturrahim serta menaikkan pamor suku bangsa Madura.

Kerapan Sapi telah menjadi identitas, trade mark dan simbol keperkasaan. Di sektor pariwisata, Kerapan Sapi merupakan pemasok utama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Karena dari sektor ini, para wisatawan manca negara maupun wisatawan domestik mengeluarkan koceknya, membeli karcis untuk menonton keperkasaan, kelincahan, kecepatan laju sapi, sekaligus menyaksikan kepintaran, kecekatan, kelihaian, kepiawaian para Joki ketika mengendalikan sapi tunggangannya.

Setiap tahun ada acara puncak Kerapan Sapi yang diselenggarakan sekitar bulan Agustus atau September. Acara tahunan tersebut merupakan event paling bergengsi karena memperebutkan piala bergilir dan piala tetap Presiden. Dalam event itu, masing-masing Kabupaten dalam wilayah Madura mengirimkan pasangan sapi terbaiknya. Adapun Sapi Kerapan yang berhak berlaga dalam arena bergengsi tersebut, merupakan hasil seleksi yang ketat dari masing-masing wilayah Kabupaten. Dengan demikian, pasangan sapi kerapan adalah duta dari masing-masing Kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. 

SUMBER DARI (Lontar Madura)


Share this post :

Post a Comment

 
| Home | Tentang Kami | Pasang Iklan
Copyright © 2011-2014. Ahdi Popos - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger