Boagrafi Al
Ghazali
Abu Hamid Muhammad Al Tusi Al Ghazali (1058-1111 M) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali, lahir pada tahun 1058, di Desa Al Ghazalah, sebuah wilayah yang terletak di bagian utara Iran. Imam Al-Ghazali meru-pakanseorang pemikir Islam yang banyak menguasai bidang keilmuan, baik ilmu filsafat, ilmu sufisme, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau mulai menulis tentang filosofi ekonomi pada abad 11 dan 12, jauh sebelum munculnya ide Merkantilisme yang baru muncul enam abad setelahnya, maupun sebelum kemunculan ide pemikiran ekonomi fisiokrasi Adam Smith tujuh abad sesudahnya, yang dianggap oleh kalangan ekonom konvensional sebagai tahun kelahiran disiplin ilmu ekonomi.Meskipun anak seorang miskin, tetapi Al-Ghazali muda memiliki budi pekerti yang mulia. Beliau yang kehilangan sosok ayah di usia belia, memulai belajar dari pemimpin sufi ayahnya, kemudian masuk madrasah (sekolah agama), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih luas dari beberapa orang yang dianggap ahli pada masanya. Reputasinya sebagai seorang cendikiawan muda, membuat Nizam Al Mulk Al Tusi mengangkat Al-Ghazali sebagai pimpinan bidang Teologi, Universitas Nizamiyyah Baghdad-Iraq, pada tahun 1091, di usia 34 ta-hun.
Abu Hamid Muhammad Al Tusi Al Ghazali (1058-1111 M) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali, lahir pada tahun 1058, di Desa Al Ghazalah, sebuah wilayah yang terletak di bagian utara Iran. Imam Al-Ghazali meru-pakanseorang pemikir Islam yang banyak menguasai bidang keilmuan, baik ilmu filsafat, ilmu sufisme, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau mulai menulis tentang filosofi ekonomi pada abad 11 dan 12, jauh sebelum munculnya ide Merkantilisme yang baru muncul enam abad setelahnya, maupun sebelum kemunculan ide pemikiran ekonomi fisiokrasi Adam Smith tujuh abad sesudahnya, yang dianggap oleh kalangan ekonom konvensional sebagai tahun kelahiran disiplin ilmu ekonomi.Meskipun anak seorang miskin, tetapi Al-Ghazali muda memiliki budi pekerti yang mulia. Beliau yang kehilangan sosok ayah di usia belia, memulai belajar dari pemimpin sufi ayahnya, kemudian masuk madrasah (sekolah agama), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih luas dari beberapa orang yang dianggap ahli pada masanya. Reputasinya sebagai seorang cendikiawan muda, membuat Nizam Al Mulk Al Tusi mengangkat Al-Ghazali sebagai pimpinan bidang Teologi, Universitas Nizamiyyah Baghdad-Iraq, pada tahun 1091, di usia 34 ta-hun.
Dari hasil kerja kerasnya,
lahirlah sebuah kitab klasik yang monumental, yang berjudul Ihya Ulum Al Din
(menghidupkan ilmu agama atau pegangan hidup dalam Islam), di samping ratusan
karya lainnya. Kitab ini berisi pesan-pesan tentang kebangkitan agama atau
petunjuk hidup dalam Islam. Dan kitab Ihya Ulumu Ad Din, sampai dengan saat ini
masih mendapatkan perhatian khusus dari para peneliti, akademisi, dan
pihak-pihak lain, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Artikel ini
mencoba membahas sebagian pemikiran ekonomi Al-Ghazali, terutama dalam konsep
filosofi ekonomi, uang dan moneter, serta perilaku konsumen dengan mengambil
referensi utama kitab tersebut.
a.
Filosofi
Ekonomi Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan
aktivitas ekonomi setiap manusia adalah menuju hari akhir atau hari pembalasan.
Menurut beliau, makna sebuah kekayaan adalah pencapaian menuju kesuksesan hidup
yang abadi. Kekayaan dalam filosofi hidup harus diwujudkan dalam konsep tauhid
(mengesakan Allah SWT), akhirat (hari pembalasan), dan risalah (aturan-aturan
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW), yang dibuktikan dengan amal perbuatan.
Dalam konteks filosofi, Al-Ghazali
membagi pelaku-pelaku ekonomi/masyarakat atau individu menjadi tiga kelompok
besar (lihat tabel 1). yaitu pertama, kelompok masyarakat yang secara ekonomi
berkecukupan, tetapi mereka melupakan terhadap tempat mereka akan kembali,
yaitu alam akhirat.
Mereka adalah kelompok masyarakat
yang akan sengsara hidupnya. Kedua, kelompok masyarakat yang selalu
memperhatikan dalam menjaga aktivitas perekonomiannya dengan alam akhirat.
Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang sukses/selamat dalam
hidupnya. Ketiga, kelompok masyarakat yang ragu-ragu menghubungkan aktivitas
perekonomiannya dengan alam akhirat. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok
masyarakat yang mendekati jalan tengah/jalan kebaikan.
b.
Situasi
Politik
Sungguh persengketaan agama di atas
ufuk kota itu pada masa kehidupan Al Ghazali masih beterbangan. Yang mana
kesemuanya itu disebabkan oleh junlah masyarakat beragam Kristen di sana juga
banyak. Begitu pula dengan pengikut aliran (madzhab) Syi’ah dari kelompok kaum
Muslimin yang juga tumbuh subur di sana (Dr. Zuwairi, Hayatul AL Ghazali).
Para ulama saat itu (yakni pada masa
hidupnya Iman Al Ghazali) cenderung untuk serius di dalam menuntut ilmu. Hingga
pada saat itu terdapat gerakan ilmiah yang sangat radikal dan berkelanjutan.
Hanya saja, sebagian dari mereka menuntut ilmu bukan atas dasar ingin
mendapatkan ilmu tersebut. Akan tetapi, sengaja hal itu dilakukan sabagai usaha
untuk mendekatkan diri kepada para pemimpin (penguasa). Oleh karena itu, mereka
terlihat sangat serius di dalam menuntut ilmu, hingga membuat hati para elit
condong dan merasa senang kepada mereka. Walaupun tujuan mereka dalam menambah
ilmu pengetahuan ini lebih di dasarkan pada usaha untuk meraih kedudukan,
ketenaran dan nama harum; kecuali orang-orang yang mendapatkan pemeliharaan
dari Allah SWT.
Ketika Imam Al Ghazali berkunjung ke
Baghdad, ibu kota Daulah Abbasiyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham al Mulk.
Darinya, Imam Al Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada
tahun 483 H (1090 M), Al Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah.
Pekerjaannya ini dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada
masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.
Dalam waktu yang sama, para elit itu
membutuhkan untuk menjalin persahabatan dan guna mendapat pertolongan dari para
ulama. Sebab pada saat itu agama merupakan sarana utama untuk mendirikan istana
raja (kingdom) atau untuk menghancurkannya. Perkumpulan elit politik dengan
para ulama tersebut dimaksudkan agar tujuan mereka bisa diselubungi dengan
agama, hingga orang-orang awam akan menganggap, bahwa mereka terhindar dari
kerakusan yang bersifat pribadi. Sungguh elit politik telah mengetahui hal itu,
dan bagaimanakah pengaruh agama terhadap masyarakat awam serta kaum
intelektual. Mereka lebih cenderung menerima ajakan agama daripada segala
motivasi yang lain.
Oleh karena itu, kaum Salajiqah
(penguasa yang tengah memimpin pada saat itu) mendirikan beberapa Madrasah di
Baghdad, Naisabur, untuk mempelajari beberapa pedoman dasar Ahlu Sunnah. Nizam
al Mulk yang memiliki jasa terbesar dalam membangun Madrasah diisukan dengan
berita yang miring, serta dilaporkan kepada Syah (raja), seperti yang dikutip
oleh Dr Zaki Mubarok dalam kitab AL Akhlaq dikatakan: “Bahwa sesungguhnya harta
yang dipersiapkan oleh Nizam al Mulk untuk membangun Madrasah (sekolah
dimaksud) hampir menyamai dengan dana yang digunakan bagi tentara yang benderanya
dipagari dengan symbol Al Qusthaniyah (Konstantinopel).”. hingga Nizam al Mulk
harus menjawab kepada raja: “Sesungguhnya aku menyediakan tentara untukmu yang
boleh disebut dengan tentara malam.
Dimana apabila tentaramu telah
tidur di malam hari, maka tentara malam ini akan segera melakukan shalat dengan
berdiri di hadapan Rabbnya, lalu mereka mencucurkan air mata seraya berdoa
dengan lidah mendoakan engkau dan juga
kepada bala tentaramu. Engkau dan tentaramu berada di bawah perlindungan
mereka. Dengannya engkau bisa hidup tentram, dan dengan doa mereka engkau bisa
bermalam secara nyenyek, serta dengan berkah yang mereka mintakan engkau diberi
hujan dan juga diberi rizeki”.
Antara ulama dan penguasa terdapat
hubungan yang erat, karena terdorong untuk menghadapi satu musuh secara
bersama; yang itu membuat mereka tidur tidak nyenyak dan membuat bingung mereka
di waktu istirahat. Juga mengancam agama dan Negara mereka. Musuh yang dimaksud
adalah kaum Mu’tazilah dan ahli falsafah. Tidak heran apabila para penguasa
serta ulama selalu mengadakan perlawanan terhadap ahli falsafah dan Mu’tazilah.
Penguasa dan ulama selalu mengancam para ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah
dengan pedang, yang mana kemudian dibalas oleh ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah
dengan perkataan yang bersifat penghinaan. Tiada satu pun dari kalangan ulama
yang memfokuskan perhatiannya untuk menyerang mereka dengan akal pikiran yang
netral dan kritikan yang obyektif serta berani.
Tindakan penyerangan yang berasal
dari kalangan penguasa dan ulama terhadap kaum intelektual yang ahli falsafah
ini sempat menimbulkan suatu opini, bahwa mereka (para ahli falsafah) adalah
kelompok kafir dan Zindiq. Lalu predikat tesebut juga dilontarkan oleh penguasa
kepada orang-orang yang dikehendaki dari kalangan ulama dan para peneliti.
Oleh karena itu, pada tahun 488 H
(1095 M), Imam Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergi ke Syiria untuk
merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian, ia pindah
ke Palestina untuk melakukan aktivitas yang sama dengan mengambil tempat baitul
Maqdis. Setelah menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa waktu di kota
Iskandariah, Mesir, Imam Al Ghazali kembali ke tempat kelahirannya, Tus, pada
tahun 499 H (1105 M) untuk melanjutkan aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah.
Proses pengasingannya tersebut
berlangsung selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia banyak menghasilkan
berbagai karyanya yang terkenal, seperti Kitab ‘Ihya’ Ulumuddin”. Pada tahun
yang sama, atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu wazir Fakhr al Mulk, Imam
al Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, akan tetapi,
pekerjaannya itu hanya berlangsung dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk
mendirikan sebuah madrasah bagi para fuquha dan mutashawwifin. Imam al Ghazali
memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505
H (19 Desember 1111 M).
Inilah gambaran singkat tentang
kondisi ilmiah dan politik di masa Imam Al Ghazali, dan kita lihat kondisi ini
sangat berpengaruh kepada diri sang Imam.
c.
Situasi
Ekonomi
Kita ketahui bersama bahwa Imam al
Ghazali hidup pada masa pemerintahan daulah Abasiyah, persisnya pada masa
dinasti Salajikah (saljuk), yang mana pada masa pemerintahan daulah Abasiyah
Islam telah mencapai masa puncak keemasannya. Kemajuan pada bidang politik,
ekonomi, dan pengetahuan yang luar biasa, yang bisa dikatakan kemajuannya tidak
pernah ada yang menandingi oleh kerajaan manapun di dunia ini. Jadi bisa
dikatakan kondisi perekonomi pada masa Imam al Ghazali sangat baik dan seimbang
(pen).
Dikatakan baik dan seimbang bukan
tidak ada celah dan kelemahan dalam perekonomian barter yang mana terjadi
ketidak sesuaian keinginan antara dua pihak. Lebih jauh Imam al Ghazali
mengatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian barter, seseorang memerlukan
usaha yang keras. Pelaku ekonomi barter harus mencari seseorang yang mempunyai
keinginan yang sama dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut juga akan
mendapatkan kesukaran dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi
keragaman barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan.
Di sinilah uang dibutuhkan sebagai
ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam perekonomian barter. Dengan
demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan
hitung dan alat tukar. Ia mengatakan bahwa zat uang itu sendiri tidak dapat
memberikan manfaat. Dan ini berarti bahwa uang bukan merupakan alat penyimpan
kekayaan.
d.
Fungsi
Kesejahteraan Sosial
Al Ghazali yang menyatakan bahwa
kebutuhan hidup manusia itu terdiri dari tiga, kebutuhan primer (darruriyyah),
sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat). Teori hirarki kebutuhan
ini kemudian ‘diambil’ oleh William Nassau Senior yang menyatakan bahwa
kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder
(decency), dan kebutuhan tertier (luxury). Al Ghazali juga menyatakan tentang
tujuan utama dari penerepan syariah adalah masalah religi atau agama,
kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan
masalah ekonomi.
Menurut Mustafa Anas Zarqa, Imam
Al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi
kesejahteraan sosial. Dalam membahas berbagai persoalan manusia, termasuk
aktivitas ekonomi, Imam al-Ghazali selalu mengacu pada konsep maslahah
(kesejahteraan) sebagai tema sentralnya. Menurutnya, maslahah adalah memelihara
tujuan syariah yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal
(aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).
Pada makalah ini penulis masih
kurang akan reverensi tentang kondisi ekonomi pada masa Al Ghazali, jadi
penulis lebih banyak mengambil dari buku Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, yang kami baca dan pahami untuk penulis sampaikan kembali dalam bahasa
yang lebih mudah dipahami.
Dalam hal ini, melalui serangkaian
penelitiannya terhadap berbagai ajaran Islam yang terdapat di dalam Al Qur’an
dan hadis, Imam al Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam Islam dapat
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Dharuriah, terdiri dari seluruh
aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara kelima prinsip
tersebut di atas.
b.
Hajah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi
pemeliharaan kelima prinsip di atas, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan
menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup.
c.
Tahsimiah atau Tazyinat. Secara khusus, kategori ini meliputi
persoalan-persoalan yang tidak menghilangkan dan mengurangi kesulitan, tetapi
melengkapi, menerangai, dan menghiasi hidup.
Adiwarman A. Karim dalam bukunya
Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab,2002) dikatakan; Walaupun keselamatan
merupakan tujuan akhir, Imam al Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan
ini sampai mengakibatkan berbagai kewajiban duniawi seseorang. Bahkan,
pencarian berbagai aktivitas ekonomi tidak hanya diinginkan, tetapi merupakan
keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitikberatkan jalan tengah dan
kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai dengan
aturan ilahi, aktivitas ekonomi serupa dengan ibadah.
Imam al Ghazali memandang perkembangan
ekonomi sebagai bagian dari berbagai tugas kewajiban sosial (fardu kifayah)
yang sudah ditetapkan Allah swt: jika hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia
akan runtuh dan kehidupan umat manusia akan binasa. Lebih jauh, ia
mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseoarang harus melakukan aktivitas
ekonomi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan,
mensejahterakan keluarga, dan membantu orang lain yang membutuhkan.
e.
Permintaan,
Penawaran, Harga, Laba
Bayangkan jika aktivitas perdagangan
hanya mengandalkan pola barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur
penguasa. Kemungkinan tidak berkembang dan terjadinya berbagai distorsi harga
tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas
perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran-jauh sebelum
munculnya pemikiran ekonomi modern-telah diungkapkan oleh para pemikir Islam.
Imam al Ghazali menyatakan secara
jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi
dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. Ia menyadari bahwa
aktivitas perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang kerena
perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang
tepat.
Di dorong oleh kepentingan pribadi
orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba,
yaitu perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal
yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik. Imam al
Ghazali juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman.
Negara harus memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan
perekonomian dapat tumbuh.
Salah satunya adalah pandangan Abu
Hamid al Ghazali (1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan
penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar
yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum, ia
dikenal sebagai ahli tasawuf.
Bagi al Ghazali pasar merupakan
bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dari juga menerangkan bagaimana
evolusi terciptanya pasar. Al Ghazali menyatakan:
Dapat saja petani hidup dimana
alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup
dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami, mereka akan saling
memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan
makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya.
Keadaan ini menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, secara alami pula
orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu
pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing
sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak
dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di
pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada
pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai
persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal
ini berlaku untuk setiap jenis barang.
Imam Ghazali juga secara eksplisit
menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali: “Selanjutnya praktek-praktek
ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke
berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat
lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak
seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada giliran menimbulkan
kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam
masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan.
Para pedagang ini bekerja keras
memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain
juga. (Ihya, III:227).
Jelaslah Imam Ghazali menyadari
kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional
dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk
memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana
dibutuhkan
Al ghazali juga memperkenal teori
permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan
menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan
menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas
permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena
makanan adalah kebutuhan pokok.
Oleh karena dalam perdagangan
makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin
mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang
yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Imam Ghazali dan juga para pemikir
pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan
keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan
biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan,
resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang (Ihya
Ulumuddin,IV,110).
Walaupun ia tidak setuju dengan
keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali
keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan
sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin, II:75-6, 84).
Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan sedikit pandangan akan keterbatasan mekanisme pasar dalam Permintaan,
Penawaran, Harga, dan Laba. Pada
mekanisme pasar ini telah menjadi sebuah mekanisme resmi pembunuh manusia
apabila tidak ada pemegang kebijakan harga, dalam hal ini yang penulis maksud
adalah pemerintah.
Contoh ini memang ekstrem, tetapi
sering hadir di masyarakat dalam berbagai variasi. Oleh karena itu, menurut
penulis sebebarnya Islam sudah
memberikan arahan kepada pemeluknya agar memperhatikan kondisi sosio-ekonomi
tempat ia tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang beriman,
manakala ia tidur kekenyangan sementara tetangga sebelahnya kelaparan dan ia
tahu akan hal itu.” (HR Tabrani & Baihaqi).
Jelaslah bahwa terdapat sejumlah
segmen masyarakat yang tidak dapat ikut bermain dalam pasar dan karenanya,
tidak akan tersentuh oleh mekanisme ini lantaran tidak punya uang untuk
membayar harga. Mereka yang tidak mampu membayar harga, merupakan korban dari
keganasan pasar.
Oleh karena itu, mekanisme pasar dan
harga harus dilengkapi dengan intervensi pemerintah yang bertujuan membantu dan
memberdayakan segmen masyarakat yang terpaksa tidak dapat berpartisipasi di
dalamnya agar dapat hidup sejahtera sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
f.
Pajak
Menurut Imam al Ghazali, apabila
keadaan Negara sedang membutuhkan tentara untuk menjaga dan melindungi
wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan Negara tidak
mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyatnya yang mampu.
Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa
pemerintahan Negara itu merupakan pemerintahan yang kredibel, kondisi keuangan
Negara benar-benar dalam keadaan kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus
dikenakan pada kondisi tersebut, yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.
Refrensi :
1. EKONOMI AL-GHAZALI, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Dalam Ihya'Ulum Al-din. Oleh : Abdur Rohman, M.E.I
2. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Oleh : Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E, M.B.A, M.A.EP.
Post a Comment