Baitul Mal wat Tamwil (BMT) adalah sebuah lembaga keuangan yang
berbadan hukum koperasi simpan pinjam. Di Indonesia lembaga ini belakangan
populer seiring dengan semangat umat Islam untuk mencari model ekonomi
alternatif pasca krisis ekonomi tahun 1997. Kemunculan BMT merupakan usaha sadar
untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.
Konsep ini sedianya ingin mengacu pada definisi ”baitul mâl” pada masa kejayaan Islam, terutama
pada masa khalifah empat pasca-kepemimpinan Nabi Muhammad SAW atau masa
Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Dalam bahasa Arab “bait “berarti rumah, dan "mâl" yang
berarti harta: rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Waktu itu dikenal
istilah “diwan” yakni tempat atau kantor yang digunakan oleh para
penulis katakanlah sekretaris baitul mal untuk bekerja dan menyimpan arsip-arsip
keuangan.
Baitul Mal adalah suatu lembaga yang bertugas mengumpulkan harta
negara entah diperoleh dari umat Islam sendiri atau dari rampasan perang, untuk
disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima atau untuk kebutuhan angkatan
bersenjata. Para khalifah waktu itu memegang kebijakan utama kemana harta-harta
itu akan disalurkan.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan
perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas
menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif
untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas
pada zakat, infak dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk
harta yang diperoleh dari peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian
tidak hanya dikerjakan oleh negara.
Beberapa organisasi, intansi atau perorangan yang menaruh perhatian
pada sejarah Islam kemudian mengambil konsep baitul mal ini dan memperluasnya
dengan menambah ”baitut tamwil” yang berarti rumah untuk menguangkan
uang. Menjadilah baitul mal wat tamwil (BMT).
Di Indonesia, istilah baitul maal wat tamwil mengemuka sejak tahun
1992. Mulanya, lembaga ini sekedar menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq,
shadaqah) dari para pegawai atau karyawan suatu instansi untuk dibagikan kepada
para mustahiqnya, lalu berkembang menjadi sebuah lembaga ekonomi berbentuk
koperasi serba usaha yang bergerak di bidang simpan-pinjam dan usaha-usaha pada
sektor riil.
Semangat yang luar biasa untuk berekonomi dengan ”ber-Islam”
sekaligus itu harus didukung. BMT membuka kerjasama dengan lembaga pemberi
pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip dasar
tata ekonomi dalam agama Islam yakni transparansi, saling rela, percaya dan
tanggung jawab, serta terutama sistem ”bagi hasil”-nya.
BMT terus berkembang. Di beberapa pesantren dan kepengurusan cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU) sudah terbentuk lembaga perekonomian umat ini. Sebagai sebuah konsep, BMT itu sendiri terus
berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian
masyarakat, karena masalahmua’malat memang berkembang dari waktu ke waktu.
(A Khoirul Anam)
Sumber : NU Online
Post a Comment