photo blogkugif.gif
Headlines News :
Home » » Ada Apa Dengan Kampungku ?

Ada Apa Dengan Kampungku ?

Written By Ahdi Popos on Sunday 15 January 2012 | 02:11


Hari ini aku merdeka dari pelajaran-pelajaran yang kerap kali mencekam fikiranku dengan soal-soal dari guru, rumus-rumus yang membosankan dan teori-tiori yang memuakkan, karena hari ini aku liburan sekolah, tiba-tiba harum bumbu dapur menyengat hidungku, berbeda dengan harum bumbu seperti hari-hari sebelumnya,” memangnya ada apa? Kenapa ibu memasak sesuatu yang berbeda?” batinku menggerutu, kemudian aku keluar dari kamar menghambur ke dapur, aku dapati ibu sedang sibuk mempersiapkan makanan,”nanti kamu ikut ibu ya kesawa menghantar makanan ini untuk  pekerja kita dan bapakmu”sekilas ibu melihatku dan kembali dia di sibukkan dengan pekerjaanya itu,” iya bu” jawabku singkat, aku membalikkan badan menghilang dari tempat dimana asap-asap sering menari-menari dari tungku pembakaran, aku masuk kamar dan mengambil buku Novel yang kemaren sore aku beli dari toko buku, aku terbawa suasana yang menyedihkan, cerita cinta seorang seniman musik yang mencintai seorang gadis keturunan garis biru,
          
  Bagian pertama telah selesai aku lahap tuntas, ibuku kembali memanggil dari sumber kepulan asap-asap kasih sayang, aku akhiri membaca buku, bangkit beranja ke dapur “ayo nak kita berangkat, kasian para pekerja dan bapakmu di sawa” ibu mengambil botol aqua yang berisikan air sumur yang alami dan menyodorkan padaku, aku meraihnya dari tangan ibu, ibu beranjak melangkahkan kakinya menuju dimana peluh berkucuran mengalir di celah-celah kulit para pekerja dan bapakku, aku membuntutinya dari belakang
            Udara segar menari-nari di pohon-pohon kelapa dan siwalan, aku menikmatinya terbebas dari cengkraman polusi udara, deruh kenalpot dan panas besi baja, seperti minggu yang lalu di kota mitropolitan Surabaya, sungguh sesakkan hidung dan bikin perut akan munta di tiap-tiap jalan raya, burung-burung bernyanyi berdansa dengan orang-orang kampung yang kehidupannya biasa dan sangat biasa atau kesakitan lantaran pemerinta buta hanya ada uang di mata mereka, yang penting perut buncit, entah seberapa lama aku dan ibu berjalan, akhirnya kami sampai di sawa dimana para pekerja dan bapak bekerja, ibu meletakkan makanan yang telah di sajikan dengan resep-resep terahasia hanya bapak dan ibu yang tau, di kubuk yang bapak bangun sebulan yang lalu, akupun meletak botol aqua yang berisikan air tawar alah madura di samping keranjang makanan itu, “mas berhenti dulu, makanan telah siap keburu dingin” suara ibu yang manja menukik telinga bapak, hingga bapak melesitkan matanya ke arah ibu, “ ayo makan somat, ajak semua” bapak memanggil satu pekerja “iyak pak” somat menjawab, bapak berjalan ke pinggir sawa dan meletakkan cangkulnya dipinggir sawa begitu juga para pekerja, semua telah berkumpul di kubuk bambu, ibu mempersiap segalanya, aku membatu yang ringan-ringan saja, seperti menurunkan piring dari keranjang dan menuangkan air ke gelas-gelas,
            Kemudian mereka melahap makanan itu seperti musafir berada di gunung pasir, tapi menurutku itu wajar karena mereka bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, banting tulang dan mengucurkan peluh di sekujur tubuhnya adalah air kehidupan, sedangkan mereka para kaum elit sibuk melipat rupiah di kantong kemijanya sendiri yang tak tanggung-tanggung miliaran jumlahnya, tapi mereka hidup sekarang di alam ini mujur karena keadilan di negeri ini di perdaganggangkan, dan penjara tak sepenuhnya memenjara, aku bangga dengan rakyat yang mencari kehidupan dengan cara usaha yang tak merugikan saudaranya sendiri dan aku muak kepada mereka yang pura-pura jadi wakil rakyat, aku meretap mereka di  dalam gubuk yang akur, bercerita tentang kehidupan di dunia atau tentang ladang mereka yang mulai tumbu emas-emas dan mutiara-mutiara,
            Di seberang jalan pak johar berlalang entah mau kemana dia, dengan sebatang rokok menemani perjalanannya, “pak johar sini dulu, mari kita minum kopi bersama-sama” bapak memanggilnya dan pak joharpun mengamini panggilan bapak, dengan secangkir kopi dan sebatang rokok mengepulkan asap kehidupan yang asri, seperti jelmahan surga yang di tempati nabi-nabi,
            Pak hisam memulai pembicaraan tentang bantuan pada petani melalui kelompok tani “tadi malam ada pengumuman, kita akan mendapatkan bantuan bibit jagung dan kedelai” katanya dengan wajah penuh bangga karena sebentar lagi akan mendapatkan bibit unggulan dari pemerinta demi kualitas panennya yang akan menjadi lebih bermutu, sambil menyerubut kopi dan mengisap rokok di tangannya, “dari mana kamu dapat kabar itu sam” kata bapakku bertanya penuh dengan tada tanya bergelayutan di udara, karena penasaran siapa yang memberi kabar itu pada pak hisam,” kata ketua kelompok tani tadi malam, kamu ngak datang ya tadi malam ke rumah makmun” dia menjelaskan sambil menerbangkan tangannya ke udara, “ oh gitu ya” bapak menjawab tak yakin akan apa yang di ucapkan pak hisam “kalian percaya akan bualan itu ya” kata pak johar, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan meratap pada pak hisam “apa yang membuat kita harus tak percaya akan kabar itu, bukannya benar pemerinta mengeluarkan bantuan pada petani melaui kelompok tani” kata pak hisam penuh yakin dan memang itu benar adanya bahwa pemerinta memberikan bantuan bibit pada petani, aku hanya mendengarkan percakapan yang mulai memanas karena yang satu penuh keyakinan akan mendapatkan bantuan itu dan sedang yang lainnya begitu tak percaya, sesekali aku memperhatikan wajah-wajah mereka, sesekali aku meratapi burung-burung yang berkicau berlari-lari di udara hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya seolah burung-burung itu tak mengisyaratkan beban yang begelantungan di sayapnya, “heh kamu telah termakan akan bualan dia yang hanya menyembunyikan ke busukanya di dalik sorban yang melingkar kepalanya” pak johar memalingkan wajahnya dari wajah pak hisam dan menunjuk-nujuk, entah apa yang di tunjuk tapi aku dapat mengira pak johar menunjuk kesebuah ara di mana rumah ketua kolompok tani itu berdiri, “mimang kamu berapa lama suda ikut perkumpulan itu sam” pak hasan bertanya pada pak hisam penasaran, “aku baru ikut seminggu yang lalu san” dia menjawab rasa penasaran pak hasan “ satu minggu, ya pantas aja kamu percaya seratus persen akan bantuan itu” pak hasan senyum-senyum saja pada pak hisam, tentu wajah pak hisam penuh dengan tanda tanya yang mendalam akan sesuatu yang dia ingin tau, kejadian apa yang telah terjadi,
            Suasa di warung itu hening beberapa saat, sedangkan tanda tanya begelayutan di atap janur yang mulai rapuk, pak hisam masih tenggelam dalam jawa penuh penasaran dengan apa yang telah terjadi selama ini, akupun tak mengerti yang sebenarnya terjadi “ada apa dengan kampungku?” desahku dalam fikiran, tiba-tiba pak hisam betanya untuk memecahkan apa yang telah membuat fikiran terganggu, “ memangnya apa yang terjadi?, kenapa kalian begitu sinis akan bantuan itu” katanya, matanya melotot pada pada wajah pah johar, “sebenarnya tentang bantuan itu sudah lama ada kabar, tapi ya sampai sekarang tak ada satupun yang sampai pada kami, makanya akupun memutuskan untuk berhenti saja ikut kumpulan itu” kata pak johar dengan nada penuh benci “ beginilah kampung kita semua tidak beres, kamu tau di kampung sebelah sudah beberapa kali mendapatkan bantuan itu, sedangkan di kampung kita mana?” kata bapakku menerawang ke langit sesekali mengisap rokoknya, sekarang pak somat angkat bicara yang sedari tadi hanya mendengarkan pada yang di perdebatkan rekan-rekannya itu “sebulan yang lalu juga ada kabar dari ketua kelompok tani itu, bahwa orang-orang yang memproduksi gula merah akan mendapatkan pantuan banci besar, tapi setelah ditanya, jawabannya masih nunggu giliran, begitulah jawaban yang di terimah anggota kolompok yang pekerjaannya setiap pagi dan sore memanjat pohon siwalan untuk memeras bauh mayang dan siwalan” pak somat menjelaskan akan bualan ketua kolompok tani itu yang hanya menyembunyikan bau busuknya di balik kopya butih dan sorban yang melingkar di kepalanya, padahal dia seorang kyai anggaplah toko masarakat di kampungku, aku jadi bingung akan kejadian di kampungku itu, padahal tiap malam minggu dia memberikan pengajian, yang menjelaskan halal-haram dan ajaran-ajaran agama lainnya, “ya suda jangan kita panjang lebarkan persoalan ini yang penting pak hisam suda tau” kata pak hasan pada rekan-rekannya itu, pak somat menimpalinya “ iya benar kamu san, kalo kita hanya membicarakan masalah itu, sawa pak ahmad ngak kelar-kelar dan bisa-bisa padinya ngak di tanam” kemudian mereka semua ketawa bersama-sama, sedangkan aku hanya tersenyum saja dan di selah-selah tawa penuh canda itu aku fikiranku masih betanya-tanya Ada apa dengan kampungku?, bapak dan para pekerja turun ke sawa dan mulai bekerja lagi, pak johar berangkat entah kemana tujuannya, sedangkan ibu membereskan perabotan di kubuk bambu itu, kemudian aku dan ibu pulang ke rumah, begitulah keadaan kampungku yang penuh tanda tanya pada lingkaran sorban di kepala seseorang yang menjadi ketua kolompok tani, ada apa dengan kampungku? Pertanyaan itu tetap berterbangan di kampungku.

Madura-Surabaya
11 Shafar 1433 H
06 Januari 2012 M
Share this post :

+ comments + 2 comments

14 February 2012 at 14:15

Saya suka ceritanya Mas..

15 July 2012 at 02:19

terimakasih telah mengunjungi blog sya

Post a Comment

 
| Home | Tentang Kami | Pasang Iklan
Copyright © 2011-2014. Ahdi Popos - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger