NU dan Khilafah: Sebuah Koreksi
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi, dan lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya. Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis HTI juga dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan bahwa cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para ulama nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin Wahid mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak relevansi khilafah dengan Indonesia. Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita berselancar di internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh NU & Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,” judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara mayoritas. Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite khilafah bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah, terdapat komite Hijaz yang memanggenuine atau asli bentukan para ulama pesantren yang nantinya bergabung dengan NU. Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab dengan misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini, juga semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur, merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU. Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu masalah baru dalam keagamaan. Salah seorang penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis sebuah buku saku untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut. Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam kitab kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqinjuz 10/42 karya al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz 2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah” mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom diseluruh dunia Islam itu hanja satu. Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang…. Kemudian dalam keterangan dalam bab jang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam. Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700 tahun. Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyahkarya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan nasab Quraisy. Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom (seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. Artinya syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi negara yang adil dan sejahtera. Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal, kita serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ (Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar (Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster). Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini mutawatir tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja'far Al- Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian untuk semua warga bangsa.Wallahu a’lam.
Dr. H. Ainur Rofiq Al-Amin, SH, M.Ag*Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya; pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur; penulis buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI di Indonesia
Sumber : PCNU KOTA BALIKPAPAN
Post a Comment