Berangkat dari agenda besar Tuhan dalam mempermudah urusan makhluknya, Islam tampil dengan menyuguhkan berbagai macam solusi. Selagi ada hajat, di situ pasti ada jalan dan solusi.
Dan, kontrak mudlarabah atau profit and loss sharing atau akad bagi hasil merupakan salah satu dari sekian menu kemudahan yang ditawarkan. Menggunakan, memanfaatkan, atau bahkan menginvestasikan harta orang lain pada dasarnya tak diperbolehkan. Tapi dalam transaksi mudlarabah, hal demikian diperbolehkan.
Terlebih, jika melihat “pemerataan kesejahteraan” adalah hikmah di balik absahnya mudlarabah maka, mudlarabah menemukan momentumnya. Di mana si pemilik modal kadang tak memiliki keterampilan dalam mengolah hartanya, sementara si pemilik keterampilan tidak memiliki modal untuk mewujudkan agenda bisnisnya. Berkat mudlarabah ini maka jalan merengkuh kesejahteraan bersama anatara pemodal dan pengelola terbuka lebar.
Atas dasar ingin ikut andil dalam upaya pembumian kewirausahaan berbasis syariah, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCINU Mesir pada Senin 25 Nopember 2013 mengkaji secara komprehensif akad mudlarabah dalam perspektif fiqih klasik empat mazhab (presentator: Ikfil Hasan) dan aplikasinya dalam perbankan syariah kontemporer (presentator: Nuha Qonita).
Sebagai akad yang legalitasnya bermula atas dasar rukhshah (dispensasi), jumhur ulama membatasi ruang aktifitas mudlarabah di kawasan seputar jual beli. Sementara bisnis-bisnis lain tidak boleh masuk dalam aktifitas mudlarabah, menurut Ikfil Hasan sebagai pemateri pertama. Hal itu tidak lain karena aktifitas bisnis pada masa klasik masih sangat sederhana dan lebih terpusat pada aktifitas jual beli. Dan yang demikian itu tidak menampik diperbolehkannya mudlarabah dalam sektor yang lain, misal saja aktifitas niaga yang sebelumnya didahului proses produksi oleh mudlarib (pengelola), sebagaimana pandangan ulama Hanafiah.
Setelah pemateri memaparkan latar belakang legalitas mudlarabah dan sekelumit sejarahnya, selanjutnya masuk dalam pembahasan makalah. Dimulai dari definisi mudlarabah menurut empat mazhab, landasan hukum, penjelasan tentang rukun-rukun beserta pernak-perniknya dan yang terahir adalah penutup.
Ada empat kitab induk yang dijadikan referensi utama oleh pemateri dalam mendefinisikan mudlarabah. Al-Mabsut, Hâsyiyah Dasuqi Alâ Syarl al-Kabîr, Mughni al-Muhtaj dan al-Mughni. Pertama, kalangan Hanafiah (penganut madzhab Imam Abu Hanifah) mendefinisikan mudlarabah berasal dari kata dlarb fâ al ardh, dinamakan mudlarabah karena mudlarib (pengelola) berhak mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh lewat kerja dan usahanya. Dia adalah partner bagi pemilik modal dalam hal profit, modal dan pengambil keputusan dalam bisnis.
Kedua, kalangan Malikiah (penganut madzhab Imam Malik bin Anas) berpendapat, mudlarabah adalah suatu tindakan menunjuk seorang agen (tawkil) untuk melakukan aktifitas bisnis, dengan memberi agen tersebut sejumlah uang untuk dikelola agar menghasilkan profit. Ketiga, kalangan Syafi’iah (penganut madzhab Imam Syafi’i) mengatakan, mudlarabah terjadi ketika seseorang diberi sejumlah uang untuk berdagang, dan profit yang dihasilkan nantinya akan dibagi di antara keduanya. Keempat, kalangan Hanabilah (penganut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) berpandangan, seseorang memberikan sejumlah uang kepada orang lain untuk digunakan dalam aktifitas dagang, dan profit yang diperoleh nantinya akan dibagi dua sesuai ratio yang telah disepakati.
Perbedaan definisi diatas menunjukan adanya perbedaan titik pijak dalam mendeskripsikan mudlarabah. Imam Sarkhasi mendeskripsikannya dari titik pijak sang mudlarib, Imam Nawawi mengambil titik pijak dari pihak luar, sedangkan Ibnu Qudamah mengambil titik pijak pemilik modal.
Dari empat definisi berbeda, ada beberapa poin titik temu yang terangkum dalam kriteria umum berikut: 1) Melibatkan dua pihak, pemilik modal (rabb al mâl) dan pengelola(mudlarib); 2) Pihak pertama hanya bermodal finansial sedang pihak kedua bermodal profesionalisme wira usaha; 3) Keuntungan dibagi menurut ratio yang disepakati; 4) Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pihak pertama, sedangkan pihak kedua menanggung rugi tenaga dan waktu.
Secara singkat, ada empat landasan mudlarabah: Al Qur’an, Hadits, Ijmak, dan Qiyas. Pertama, al-Qur’an. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjalandi muka bumi mencari sebagian karunia Allah” (73:20). Senada dengan ayat di atas, Allah berfirman: “Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari tuhanmu" (2:198). Kedua, adalah taqrîr (pengakuan) Nabi terhadap praktik mudlarabah pra-Islam. Beliau tidak melarang praktik tersebut. Bahkan beliau sendiri pernah berniaga dengan sistem mudlarabah bersama Khadijah sebagai pemilik modal. Ketiga dan keempat, Al Syirbini dalam Mughni al Muhtaj menukil ijmak ulama atas legalnya akad mudlarabah karena adanya unsur hajat dan mengatakan diqiyaskannya mudlarabah dengan akad musaqah.
Rukun Mudlarabah
Sementara untuk rukun mudlarabah adalah: modal (ra’sul mâl), lingkup kerja (al ‘amal), profit (al ribh), ijab-kabul (shighah), dan pelaku (aqidain).
Dalam literatur klasik, kurang lebih terdapat empat macam modal dalam mudlarabah, yaitu: (a) dirham dan dinar; (b) komoditi yang diperdagangkan (‘urudh); (c) piutang; dan (d) wadi’ah. Untuk jenis modal yang pertama telah disepakati kebolehannya. Untuk yang selebihnya masih diperdebatkan. Ada yang memperbolehkan, sebagian yang lain sama sekali menolak.
Alasan mengapa dirham dan dinar disepakati kebolehannya sebagai modal adalah karena dua benda tersebut berfungsi sebagai alat tukar yang sah dan alasan keduakarena mempunyai nilai instristik yang stabil di segala tempat dan waktu. Pertanyaannya, setelah dirham dan dinar tidak lagi menjadi alat tukar, uang kertas yang ada juga mempunyai tingkat fluktuatif yang tinggi, apa dia boleh dijadikan sebagai modal dalam akad mudlarabah?
Untuk alasan mengapa ‘urudh tidak disepakati sebagai modal, ulama berpendapat bahwa nilai ‘urudh cenderung fluktuatif, berbeda dengan dirham dan dinar. Sedang ulama yang membolehkan biasanya mengunakan konsep hilah, yaitu dengan cara menggabungkan dua akad, akad wakalah (perwakilan) dimana pihak pertama menyerahkan ‘urudh pada pihak kedua untuk dijual dan kemudian menjadikannya sebagai modal mudlarabah.
Piutang yang dapat dijadikan modal dalam akad mudlarabah adalah piutang pihak pemilik modal yang telah dilimpahkan kepada orang lain (hawalah), yaitu pihak kedua sebagai pengelola mengambil piutang pihak pertama dari debitor (pihak ketiga) karena disaat yang sama debitor mempunyai hutang kepada pihak kedua. Untuk selanjutnya pihak kedua menjadikannya sebagai modal mudlarabah. Sedang apabila yang akan dijadikan modal adalah piutang pemilik modal pada pihak kedua maka tidak diperbolehkan dikarenakan modal berupa mâl ghâib dan dikawatirkan akan terjadi praktek riba.
Wadi’ah secara mutlak tidak boleh digunakan sebagai modal. Ini pendapat Malikiah. Kalangan Syafi’iah memperbolehkan dengan sarat adanya izin dari pemilik. Hanafiah dan Hanabilah paling fleksibel dalam hal ini, yaitu memperbolehkannya walaupun tidak ada izin dari pihak pemilik modal.
Rukun kedua dan selanjutnya sudah disinggung di atas, yaitu ketika membicarakan tentang definisi mudlarabah. Penting ditambahkan disini mengenai lingkup kerja pengelola, kalangan Malikiah dan Syafi’iah membatasi ruang aktifitas mudlarabah terkhusus dalam perniagaan saja. Sedang Hanafiah memperluas cakupan kerja pengelola. Tidak hanya dalam aktifitas jual beli akan tetapi mencakup proses pra-jual (tahap produksi). Alasan pendapat pertama dengan mempertimbangkan akan memperoleh profit dalam jangka waktu sependek mungkin. Sedangkan pendapat yang kedua melihat pada banyaknya profit yang akan didapat. Untuk pembahasan shighat, hak dan kewajiban dari pemilik modal dan pengelola serta prosentase profit yang akan diperoleh diantara keduanya dapat dilihat dalam deskripsi mudlarabah dalam perbankan syariah yang akan dipaparkan oleh pemateri selanjutnya, Nuha Qonita.
Mudlarabah dalam Perbankan Syariah Kontemporer
Nuha Qonita sebagai pemateri kedua berusaha mengajak kita beranjak dari zaman klasik menuju era kontemporer. Poin dan ketentuan yang telah dipaparkan oleh pemateri pertama berusaha diterjemahkan dan diaplikasikan ke zaman kekinian. Nuha membidik aplikasi akad mudlarabahdalam perbankan syariah sebagai sasaran tembaknya.
Nuha menjelaskan, kegiatan operasional bank syariah meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana dan terahir adalah jasa-jasa perbankan. Perbankan syariah menempatkan mudlarabah dalam kegiatan operasional yang pertama dan kedua. Dari sini, pihak bank mempunyai peran ganda, yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dalam waktu yang bersamaan. Pada kasus yang pertama, nasabah adalah sebagai shâhibul mâlatau pemilik modal, dan bank sebagai mudlârib. Sedangkan dalam kegiatan kedua, yaitu sebagai penyalur dana maka nasabah sebagai pemilik modal atau shâhibul mâl, bank sebagai mudlarib al-awwal (pengelola pertama) dan pihak ketiga sebagai mudlarib tsâni (pengelola kedua).
Selanjutnya sistematika dan pembagian mudlarabah. Poin penting dari bagian ini adalah pembahasan mengenai jaminan yang mendapatkan respon sangat hangat dari peserta diskusi. Sebagaimana diketahui bahwa mudlarabah adalah akad amânah, sedang dalam perkembangan kekinian pihak perbankan mewajibkan adanya jaminan dari dua belah pihak. Dalam sesi tanggapan, terkait soal jaminan ini, Amrullah mencoba memecah kebuntuan dalam landasan kewajibannya dengan mengajukan teori istihsan sebagai pijakan hukum.
Menurut Nuha, dalam perbankan syariah kontemporer juga ada dua bentuk mudlarabah, yaitu: (1) mudlarabah muthlaqah (unrestricted investment account), yaitu sistem mudlarabah dimana pihak bank tidak dibatasi dalam mengelola modal yang diterima dari pemilik, sementara pemilik modal juga tidak memberikan persyaratan apapun kepada pihak bank. (2) mudlarabah muqayyadah (restricted investment account). Mudlarabah ini terbagi dua: mudlarabah on balance sheet, yaitu jenis mudlarabah dimana pemilik modal dapat menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Yang kedua adalah mudlarabah off balance sheet, yaitu jenis mudlarabah dengan konsep penyaluran dana mudlarabah secara langsung kepada pelaksana usahanya.
Adapun tehnik dan ketentuan dari kedua jenis mudlarabah tersebut bervariasi sesuai dengan kebijakan bank dan pemilik modal yang bersangkutan. Maka, kiranya dalam laporan ini tidak ada alasan untuk menuliskannya kembali. Hal yang tersebut tadi diatas dalam fiqih klasik masuk dalam pembahasan shighat, ketentuan pelaku (shahib al mal dan mudlarib) dan pembagian profit. Sebagaimana terekam dalam Takmilât al Majmû’ vol. 15.
Kendala
Sistem mudlarabah sebagai cara alternatif paling ideal bagi masyarakat untuk meninggalkan keterikatannya pada sistem kapitalis, tidak selamanya berjalan mulus. Banyak sekali faktor-faktor yang menjadi penghabatnya. Operasional sistem ini pun tidak berjalan di semua negara. Di negara Islam khususnya, pro kontra yang terjadi menunjukkan bahwa akad mudlarabahini adalah penyebab atas terjadinya inflasi. Selain itu, produk yang disajikan lembaga perbankan ini belum menjadi skema pembiayaan yang utama pada bank syariah, sehingga menurunkan daya tarik masyarakat untuk beroperasi dengan kegiatan ini. Dari data International Associate of Islamic Bank 1996, skema mudlarabahhanya dipakai 20% secara rata di Bank Islam dunia. Beberapa faktor penyebab terjadinya hal ini yaitu:
Pertama, kontrak profit and loss sharing dikaitkan dengan semua pihak mitra usaha manakala seorang pengusaha tidak intensif untuk memberikan usaha akan tetapi lebih intensif atas laporan profit rendah yang dibandingkan dengan pembiayaan.
Kedua, kontrak profit and loss sharing membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikit jaminan hak properti pada kontrak profit loss sharing menyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi, termasuk indonesia yang belum menetapkan peraturan jaminan yang tegas dan jelas.
Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan konsep mudlarabah yang dianutnya. Akan tetapi realitanya seringkali pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keempat, banyak pihak pemilik modal yang mengambil modalnya sebelum berakhir waktu temponya.
Kelima, ketidaksiapan para nasabah dalam resiko kerugian yang akan terjadi.
Akhirnya, melihat adanya kebutuhan yang mendesak dan dalam rangka pemerataan kesejahteraan, sistem mudlarabah dapat dijadikan solusi. Walau dalam prakteknya bank syariah belum seratus persen Islami akan tetapi ada kaidah fiqih“Ma lâ yudraku kulluh la yutraku kulluh” yang intinya bahwa sesuatu yang tidak mampu diaplikasikan sepenuhnya maka wajib diusahakan untuk diaplikasikan semampunya. Kaidah ini di dasarkan diantaranya pada firman Allah dalam surah Al Baqarah (ayat:286), surah Al Taghabun (ayat:16) dan sabda nabi saw. Yang berbunyi; “Jika aku memerintahkan kalian sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.” (Adhi Maftuhin/Red: Mahbib)
*) Tulisan ini dirangkum dari laporan hasil Kajian Reguler Ekonomi Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) Mesir
Sumber : NU Online
Post a Comment